Diskominfotik Rohil - Mantan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Rokan Hilir, berinsial AA, bersama rekannya Sefrijon (SYF), akan segera menjalani persidangan sebagai terdakwa dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan dan rehabilitasi SMPN 4 Panipahan. Kasus ini menyeruak ke ruang publik sejak pertengahan Mei 2025, ketika Kejaksaan Negeri (Kejari) Rokan Hilir membuka penyelidikan mendalam terhadap proyek pendidikan bernilai lebih dari Rp4,3 miliar yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Kementerian Pendidikan.
Penyidik menemukan serangkaian modus penyimpangan, mulai dari penggelembungan harga material, pembuatan laporan pertanggungjawaban (SPJ) fiktif, hingga kualitas bangunan yang jauh dari standar konstruksi yang seharusnya. Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Riau, kerugian keuangan negara akibat praktik koruptif ini mencapai Rp7.976.135.486.
Kepala Kejari Rokan Hilir, Andi Adikawira Putera, melalui Kepala Seksi Intelijen, Yopentinu Adi Nugraha, menjelaskan bahwa tahap II pelimpahan perkara telah dilaksanakan pada Senin (15/9/2025) di Rumah Tahanan Negara Pekanbaru. “Saat ini tim Jaksa Penuntut Umum sedang merampungkan administrasi, termasuk penyusunan surat dakwaan, sebelum perkara ini dilimpahkan ke pengadilan. Insya Allah dalam waktu dekat akan segera disidangkan,” ujarnya, Selasa (16/9/2025).
Modus Penyalahgunaan Dana
Berdasarkan berkas perkara, proyek pendidikan dengan total anggaran Rp40.366.863.000, yang bersumber dari DAK Fisik Sekolah Dasar dan dicairkan dalam tiga tahap, diduga diselewengkan sejak awal. AA, yang menjabat sebagai Kadisdikbud pada periode 2023 hingga Mei 2025, memerintahkan bendahara pembantu, Gunawan, untuk menarik tunai dana pencairan secara bertahap. Dari tiga tahap pencairan, AA diduga menguasai Rp7.678.550.000 yang kemudian digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk pembayaran kepada sejumlah pihak di luar peruntukan proyek.
Sementara itu, Sefrijon selaku Ketua Pelaksana Kegiatan Swakelola, juga diduga melakukan penyelewengan dengan cara mengklaim penggunaan dana untuk pembayaran upah tukang serta pembelian material. Dari total Rp897.485.486 yang ditarik, hanya Rp599.900.000 yang dapat dipertanggungjawabkan. Sisanya sebesar Rp297.585.486 tidak memiliki bukti penggunaan yang sah hingga saat ini.
Jeratan Hukum
Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman hukuman dalam pasal tersebut mencakup pidana penjara maksimal 20 tahun serta denda dalam jumlah signifikan, menegaskan keseriusan negara dalam menindak praktik korupsi yang merugikan keuangan publik.
“Kerugian tersebut terdiri dari penyalahgunaan dana oleh AA sebesar Rp7.678.550.000 dan oleh SYF sebesar Rp297.585.486,” ungkap salah seorang penyidik, Dedie, dalam keterangan resminya.
Dengan pelimpahan perkara ke meja hijau, masyarakat kini menantikan bagaimana proses hukum ini akan menjadi preseden dalam penegakan integritas tata kelola dana pendidikan, sekaligus sebagai peringatan keras bagi pejabat publik agar tidak menyalahgunakan kewenangan yang dipercayakan negara.
Sumber : TribunPekanbaru.com
Editor : Amrial